Selasa, 14 Juli 2015

Takut


Takut

Jam berdentang, *tik tak tik tak* dan aku hanya berdiam diri sambil melihat jarum jam bergerak. Aku memikirkan suatu hal yang mungkin banyak orang akan merasakan hal ini. Hal itu membuat aku kadang tidak bisa tidur, setiap hari selalu terpikirkan kata “Ketakutan”. Dari namanya saja aku sudah tidak mau mendengarnya lagi.

Aku dulu masih seperti orang-orang lain yang sangat mempunyai rasa takut. Setiap hari, diriku selalu dihampiri dengan hal yang menakutkan. Sebagai contoh, aku sangat takut dengan kamar mandi di rumahku. Awalnya aku takut karena kamar mandi itu gelap. Namun, saat ku nyalakan lampunya, akan terasa terang kan?

Hampir setiap hari aku ditinggal pergi oleh keluargaku untuk keluar rumah. Dan pastinya aku hanya sendiri di dalam rumah. Pada keadaan seperti itu, ketakutan semakin menghampiri diriku. Di sudut ruangan semua terasa sangat sepi, banyak yang tidak terbayangkan oleh ku. Yang aku pikirkan pada saat itu hanyalah rasa takut.

Di malam hari aku selalu mendapatkan hal-hal yang menakutkan, seperti aku melihat ada benda yang jatuh tetapi sebenarnya tidak ada, dan mendengar suara aneh tapi ternyata suara itu tidak ada. Jadi, apakah semua itu? Mengapa ini semakin membuat ku sangat takut?

Setiap hari aku memikirkan bagaimana cara menghilangkan hal itu dalam diriku. Tapi, aku masih seperti orang bodoh. Aku tidak bisa menghilangkan itu, mengapa ketakutan itu selalu datang kepadaku? Apakah ketakutan hanya datang pada orang bodoh sepertiku? Semua itu membuat tekad ku lebih kuat untuk menghilangkan rasa takut ini.

Pada akhirnya, di suatu hari aku berdiam diri di kamar, dan memikirkan mengapa aku bisa seperti itu? Aku berpikir terus menerus, dan sampai akhirnya aku menemukan masalah ku. Ternyata, semua ketakutan itu berasal dari pikiranku sendiri yang selalu memikirkan rasa takut yang berlebih.

Mungkin sebelumnya aku tidak mengerti bahwa pikiran dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dari situlah aku mulai berubah, setiap harinya aku selalu berpikir untuk tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan ketakutan.
Aku benar-benar tidak percaya, semua itu berhasil.

Sebelumnya aku selalu berpikir akan rasa takut yang berlebih. Namun, akhirnya aku dapat memecahkan masalah ku ini. Sampai sekarang, rasa takut itu benar benar hilang dalam diri ku dan aku bebas dari “Ketakutan”.

Kamis, 19 Februari 2015

30 menit dan cappucino

Hujan turun deras saat aku baru saja menyalakan komputer. Kamar yang awalnya riuh dengan suara hujan kini bertambah ramai dengan suara musik dari speaker komputer. Perpaduan suara rinai hujan dan musik membuatku merasa nyaman. Ditambah dengan secangkir cappucinno, membuat sore hari ini makin bersinar. Hmm, social network akhir-akhir ini membuatku kecanduan komputer. Belum lagi kesukaanku melihat koleksi foto teman-teman. Terutama foto Radit, seniorku di komunitas Basket.

Belum lima menit aku membuka akun social network, ponselku berbunyi. Dari Radit! Aku mengatur napasku yang memburu kegirangan. lalu membuka pesannya,
"Kirei, kutunggu di Cafe Brontoseno pukul lima sore. There's important thing we must to talk"
Tak peduli hujan yang turun deras, kusambar sweather dan kunci mobil. Sebelum pergi dengan mobilku, terlebih dulu kupoles mukaku dengan bedak dan menyemprot tubuhku dengan parfum. Meskipun terburu-buru, aku masih ingat siapa yang akan kutemui. Bisa dibilang Radit-lah orang yang menjadi obsesiku selama hampir setahun ini.
 Awalnya degup jantungku cukup normal, tanganku juga tidak sedingin es. Tapi setelah aku duduk di salah satu bangku Cafe Brontoseno, semuanya berubah! Pertama, napasku memburu. Kedua, keringat dingin membasahi wajah dan tanganku sehingga aku harus berulang kali mengeringkannya dengan sapu tangan. Ketiga, aku merasa ada yang salah dengan Radit.

Radit memang seniorku. Biasanya senior tidak terlalu dekat dengan juniornya, apalagi junior sepertiku. Hmm, aku bukan cewek gaul seperti perempuan-perempuan yang ada di sekelilingnya, aku hanya gadis remaja yang ingin belajar Basket di komunitas yang sama dengan Radit.Tapi akhir-akhir ini kami cukup dekat. Selain berkomunikasi lewat social network, Radit kerap kali mengirim pesan pendek padaku.

Radit bukan tipe orang yang suka datang terlambat. Tapi kini? Dia terlambat hampir satu jam dan membuatku menunggu lama. Adzan maghrib berkumandang 15 menit lalu. Maka aku meninggalkan meja menuju musholla terdekat, dan menunaikan ibadah wajibku.

Sekembalinya aku dari musholla, aku melihat Radit disana! Di bangku yang sama dengan senyum indahnya dan mata cokelat yang selalu memberikan rasa teduh kepadaku. Sore itu Radit tampak menawan dengan kaus biru, celana jeans, dan sneakers. Aku duduk di depan Radit, mencoba mengatur napasku yang memburu lagi. Kupesan segelas cappucinno untukku.
"Lama?" tanyanya memecah kesunyian,
"Hmm..cukup," aku tersenyum padanya.

Pandangan mataku teralih pada televisi yang dipasang di ujung Cafe. Televisi tersebut sedang memutar acara berita yang menampilkan sebuah mobil rally yang tergelincir di jalanan licin dan masuk ke jurang. Di acara tersebut,aku melihat bagaimana usaha para tim dokter untuk menyelamatkan pengemudi yang diduga masih remaja. Pengemudi itu tampaknya terluka parah, bahkan bisa meninggal dalam waktu dekat. Sementara mobil rally berwarna hijau sudah hancur dan tidak berhasil diangkat dari jurang. Tunggu sebentar ya.
"Radit, itu mobilmu ?" tanyaku konyol, diiringi desahan ketakutan.
"Pabrik nggak produksi satu mobil yang sama, Kirei," dia terbahak.
"Jadi, apa important thing yang kamu maksud?" tanyaku setelah cappucinno pesananku datang.

Tegukan cappucinno yang pertama, sebuah kehangatan datang.Dalam hati kecilku, entah darimana asalnya, aku berbisik bahwa aku mneyukai Radit. aku suka segala hal tentang Radit.
"Kirei, aku suka kamu,"
Tegukan cappucinno kedua, aku seperti bersorak dari dalam cangkir cappucinno-ku. sebuah keteduhan dan ketenangan datang. Dari mata cokelat Radit, aku tahu itu benar. Dari senyum Radit, aku tahu dia jujur, dan dari perasaanku, aku hanya berbisik dalam hati bahwa aku bahagia, aku tak ingin waktu ini berlalu.

Aku hanya diam. tak tahu apa yang sebaiknya kukatakan. Aku mengangkat mukaku, menatapnya. Untuk yang pertama kalinya, aku melihat ketulusan dari matanya. dari mata yang sebelumnya selalu kuperhatikan diam-diam.

Tiba-tiba seorang waitress menepuk pundakku. Aku menoleh, dan meletakkan cangkir cappucinno diatas tatakan,. "Mbak sudah ada disini selama 30 menit, dan selama itu Mbak menghabiskan waktu dengan berbicara sendiri," dia menoleh ke belakang, mengikuti arah langkah seorang laki-laki bertubuh besar. "inspektur dari polisi setempat ingin berbicara dengan anda,"

Laki-laki yang disebut waitress tadi mendekatiku, lalu dengan gerakan cepat dia menunjukkan lencana polisi. aku tahu sesuatu telah terjadi, dan itu menyangkut Radit! aku menoleh kearah Radit, dan aku melihat dia tersenyum padaku. "anda Kirei, teman Raditya dengan pemilik mobil rally hijau bernopol L 521 B?" aku mengangguk pelan.
"Teman anda, Raditya Ghani mengalami kecelakaan berat. Mobilnya masuk di jurang dan satu-satunya nomor telepon yang ada di kontak ponselnya hanya anda. Setelah kami cek, ternyata anda ada disini. Kami hanya ingin anda cepat-cepat mengunjungi almarhum dan menghubungi keluarga Radit. Kami perlu persetujuan orangtua untuk melakukan otopsi,"
Radit tidak ada di hadapanku! Hanya ada senyumannya yang masih kuingat.
Tegukan cappucinno yang terakhir, semuanya dingin, gelap, dan kelabu. Tak ada lagi luapan rasa bahagia, tak ada lagi mata cokelat Radit, dan tak ada lagi senyum keteduhan dari Radit. Semuanya hancur! melebur jadi satu!